BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tawuran sepertinya sudah menjadi bagian dari budaya
bangsa Indonesia, sehingga jika mendengar kata tawuran, sepertinya masyarakat
Indonesia sudah tidak asing lagi. Hampir setiap minggu, berita itu menghiasi
media massa. Tawuran antar pelajar maupun tawuran antar remaja semakin menjadi semenjak
terciptanya geng-geng. Perilaku anarki selalu dipertontonkan di tengah-tengah
masyarakat. Mereka itu sudah tidak merasa bahwa perbuatan itu sangat tidak
terpuji dan bisa mengganggu ketenangan masyarakat.Sebaliknya mereka merasa
bangga jika masyarakat itu takut dengan geng kelompoknya. Seorang pelajar
seharusnya tidak melakukan tindakan yang tidak terpuji seperti itu. Biasanya
permusuhan antar sekolah dimulai dari masalah yang sangat sepele. Namun remaja
yang masih labil tingkat emosinya justru menanggapinya sebagai sebuah
tantangan.
Tawuran antar pelajar merupakan fenomena sosial yang sudah dianggap
lumrah oleh masyarakat di Indonesia. Bahkan ada sebuah pendapat yang menganggap
bahwa tawuran merupakan salah satu kegiatan rutin dari pelajar yang menginjak
usia remaja. Masih
teringat ditelinga kita peristiwa tawuran antar
pelajar SMA Negeri 6 dan SMA Negeri 70.
Peristiwa tawuran antar-pelajar dua sekolah tersebut, Senin (24/9/2012), telah merenggut nyawa
seorang siswa SMA Negeri 6. Alawy Yusianto Putra (15),
siswa kelas X SMA Negeri 6, tewas setelah terkena sabetan celurit dari siswa SMA Negeri 70. Saat
itu, Alawy dan teman-temannya tengah berkumpul seusai sekolah dan mendadak
diserang oleh segerombolan siswa SMA Negeri 70 yang membawa senjata tajam
(Kompas.com, edisi Rabu,
26 September 2012).
Hal yang serupa terjadi pada pelajar sekolah menengah di Yogyakarta.
Para pelajar di sebuah sekolah telah dapat membedakan mana sekolah yang menjadi
‘kawan’ serta mana pula yang menjadi ‘lawan’. Hal ini telah diturunkan dari
suatu angkatan ke angkatan di bawahnya.
Contoh di
atas adalah hanya segelintir dari kejadaian tawuran anatar pelajar di negeri
ini. Semestinya masa remaja dalah masa yang paliang prnting dalam rentang
perkembangan manuisa. Bukan diisi dengan tawuran dan hal-hal negatif, yang tidak
bermanfaat untuk masa depan. Masa remaja sering dikenal dengan istilah masa
pemberontakan. Pada masa-masa ini, seorang anak yang baru mengalami pubertas
seringkali menampilkan beragam gejolak emosi, menarik diri dari keluarga, serta
mengalami banyak masalah, baik di rumah, sekolah, atau di lingkungan
pertemanannya. Fenomena yang sanagt meprihatinkan selain
tawuran dikalangan remaja, seperti sikap arogan dengan menjadikan termenologi
“babe gue’ sebagai senjata, suka berhura-hura, chatting, bergerombol, memberontak orang tua, dan guru, malakukan
penyimapanagn seksual (free sex, samen
leven, married by accident), mengonsumsi miras dan narkoba.
Penyesuaian
diri pada masa remaja sangat penting, karena masa remaja dalaha masa rentan
dengan berbgai penagruh sosial yang positif atau negatif. Kalau pengaruh yang
masuk adalah positif, amaka akan berdampak baik terhadap perkembangan
kepribadian remaja. Tetapi sebaliknya jika pengaruh yang negatif terhdap
remaja, maka akan berdampak negatif pula terhadap perkembangan kepribadain
remaja.
Penyesuaian
yang utama dari remaja dalah penyesuaian sosial, dimana remaja tinggal dan
berhubungan baik dengan orang tua, teman sebaya, atau lingkungan skitar.
Penyesuaian sosial merupakan salah satu tugasa perkembangan masa remaja yang
paling sulit. Remaja dituntut menyesuaikan diri dengan lawan jenis dan orang
dewasa diluar lingkungan keluarga dan sekolah.
Agar
target sosialisasi remaja tercapai, berbagai bentuk penyesuaian baru harus
ditempuh oleh remaja. Di antara bentuk penyesuain baru yang paling penting dan
paling susah antara lain penyesuan diri dengan meningkatnya pengaruh kelompok
sebaya, peruabahan dalam perilaku sosial, nilai-nilai yang baru dalam seleksi
dalam persahabatan, nilai-nilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial, dan
nilai-nilai baru dalam seleksi pemimpin.
B.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang di atas, maka dapat diambil
rumusan maslah sebgai berikut:
1.
Apa pengertian remaja?
2.
Apa pengertian dari perkembanag sosial
remaja?
3.
Bagaimana analisis tawuran pada remaja
menurur teori Albert Bandura dan Erik H. Erikson?
4.
Bagaimana solusi yang dapat dilakukan
dalam mencegah tawuran anatar pelajar?
C. Tujuan
Dari hasil identifikasi rumusan msalah di atas, maka
tujuan dari analisis permsalah sosial remaja adalah:
1.
Mendeskripsikan pengertian remaja.
2.
Mendeskripsikan perkembnagan sosial
remaja.
3.
Analalisi permasalahan tawuran antar
pelajar menurut teori Albert Bandura dan Erik H. Erikson.
4.
Solusi yang dapat dilakukan dalam
mencegah tawuran antar pelajar.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Kajian Teori
1.
Remaja
Menurut Ali dan Asrori (2004:9) remaja yang dalam
bahas aslinya disebut adolescence,
berasal dari bahas Latin adolescere
yang artinya “tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan”. Bahasa primitif
dan orang-orang purbakala memandang masa puber dan masa remaja tidak berbeda
dengan periode lain dalam rentang kehidupan. Anak sudah dianggap dewasa
apabiala sudah mampu mengadakan reproduksi.
Perkembangan
lebih lanjut, istilah adolescence
sesunguhnya memilki arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosioanl,
sosial, dan fisik (Hurlock, 1991 dalam Ali dan Asrosi, 2004:9). Pandangan ini
didukung oleh Piaget (Hurlock, 1991 dalam Ali dan Asrosi, 2004:9) yang
mengatakan bahwa secara psikologis, remaja adalah suatu usia dimana individu
menjadi terintegrasi ke masayrakat dewasa, suatu usia di mana anak tidaka
merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan
merasa sama, atau paling tidak sejajar. Memasuki masayarakat dewasa ini
mengandung banyak aspek afektif, lebih kurang dari usia pubertas.
Menurut Hurlock (1991) rentang masa usia remaja
antara 13-21 tahun, yang juga dibagai dalam masa remaja awal, anatara uisa
13/14 samapai 17 tahun, dan masa remaja akhir 17 samapi 21 tahun.
Setiap periode penting selama rentang kehidupan
mempunya ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan periode sebelum dan
sesudahnya. Begitu juga dengan masa remaja ada ciri-ciri unum yang
membedakannya dengan periode-periode yang lai. Meneurut Al-mighwar (2006:63)
masa remaja mempunyai ciri-ciri umum, yaitu:
a.
Masa yang penting
Semua periode dalam rentang kehidupan
memang penting, tetapi ada perbedaan dalam tingkat perbedaannya. Adanya akibat
langsung terhadap sikap dan tingkah laku serta akibat-akibat jangka panjangnya
menjadikan periode remaja lebih penting daripada periode yang lainnya.
b.
Masa transisi
Pada setiap periode transisi, tampak
ketidakjelasan status individu dan munculnya keraguan terehdap peran terhadap
peran yang harus dimainkan. Pada masa ini, remaja bukan lagi seorang anak dan
bukan juga oranag dewasa.
c.
Masa perubahan
Selama masa remaja, tingkat perubahan
sikap dan perilaku sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Perubahan yang
terjadi pada masa remaja memang beragam, tetapi ada lima perubahan yang terjdi
pada remaja:
1)
Emosi yang tinggi;
2)
Perubahan tubuh, minat dan peran yang
diharapkan oleh kelompok sosila menimbulkan masalah baru;
3)
Perubahan nilai-nilai sebagi konsekuensi
perubahan minat dan pola tingkah laku; dan
4)
Bersikap ambivalen terhadap setiap
perubahan.
d.
Masa bermasalah
Meskipun setiap periode memilki masalah
sendiri, masalah masa remaja termasuk masalah yang sulit diatasi, baik oleh
anak laki-laki maupun anak perempuan.
e.
Masa pencarian identitas
Banyak cara yang dilakukan oleh remaja
untuk menunjukkan identitasnya, anatra lain penggunaan simbol-simbol status
dalam bnetuk kendaraan, pakain, dan pemilikan barang-baramg lain yang mudah
dilihat.
f.
Masa munculnya ketakutan
Kehidupan pada masa remaja muda
cenderung tidak simpatik dan takut bertanggungjawab.
g.
Masa yang tidak realistik
Pandangan subjektif cenderung mewarnai
remaja. Mereka mamandang diri sendiri dan orang lain berdasarkan keinginannya,
dan bukan berdasar kenyataan yang sebenarnya, apalagi dalam cita-cita. Tidak
hanya berakibat bagi dirinya sendiri, bahkan bagi keluaraga dan teman-temanya,
cita-cita yang tidak realistik ini berakibat pada tingginya emosi yang
merupakan ciri awal masa remaja. Semakin tidak realistik cita-citanya, semakin
tinggi kemarahannya. Bila orang lain mengecewakannya atau kalau dia tidak
berhasil mancapai tujuan yang ditetapkannya dia akan sakit dan kecewa.
h.
Masa menuju masa remaja
Saat usia kematangan kian dekat, para
remaja merasa gelisah untuk meniggalkan streotipe usia belasan tahun yang indah
di satu sisi, dan harus bersiap-siap menuju usia dewasa di sisi lainnya.
Kegelisahan itu timbul akibat kebimbangan tentang bagaimana meninggalkan masa
remaja dan bagaimana pula memasuki masa deawasa.
Semua
individu, dalam rentang kehidupannya, memiliki tugas dan peran tersendiri. Begitu
juga dengan masa remaja mempunyai tugas perkembangan yang tidak dapat
terlewatkan. Semua tugas perkembangan pada masa remaja dipusatkan pada
penanggulangan sikap dan perilaku yang kekanak-kanakan dan mengadakan persiapan
untuk menghadapi masa dewasa, tugas perkembangan pada masa dewasa menuntut
perubahan besar dalam sikap dan pola perilaku anak, akibatnya, hanya sedikit
anak lak-laki yang mampu dan hanya anak perempuanlah yang dapat diharapkan
untuk menguasai tugas-tugas tersebut selama awal masa remaja, apa lagi mereka
yang matangnya terlambat (http://www.psychologymania.com).
Adapun
tugas-tugas perkembangan masa remaja Menurut Hurlock (1991) dalam Ali dan Asrori
(2004:10) adalah sebagai berikut:
a.
Berusaha mampu menerima keadaan fisiknya.
b.
Berusaha mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa.
c.
Berusaha mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang
berlainan jenis.
d.
Berusaha mencapai kemandirian emosional.
e.
Berusaha mencapai kemandirian ekonomi.
f.
Berusaha mengembangkan konsep dan keterampilan-keterampilan
intelektual yang sangat diperlukan untuk melukukan peran sebagai anggota
masyarakat.
g.
Berusaha memahami dan mengintemalisasikan nilai-nilai orang dewasa
dan orang tua.
h.
Berusaha mengembangkan perilaku tanggungjawab sosial yang
diperlukan untuk memasuki dunia dewasa.
i.
Berusaha mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan.
j.
Berusaha memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab
kehidupan keluarga.
2.
Perkembangan Sosial
Remaja
Perkembangan
sosial pada masa remaja merupakan puncak dari perkembangan sosial dari
fase-fase perkembangan. Bahkan, terkadang, perkembangan sosial remaja lebih
mementingkan kehidupan sosialnya di luar dari pada ikatan sosialnya dalam
keluarga. Perkembangan sosial remaja pada fase ini merupakan titik balik pusat perhatian.
Lingkungan sosialnya sebagai perhatian utama.
Suatu penelitian longitudinal yang dilakukan
oleh Bronson, menyimpulkan adanya tiga pola orientasi sosial remaja, yaitu: (http://www.psychologymania.com).
a.
Withdrawal vs. Expansive
Anak yang tergolong withdrawal adalah
anak yang mempunyai kecenderungan menarik diri dalam kehidupan sosial, sehingga
dia lebih senang hidup menyendiri. Sebaliknya anak expansive suka
menjelajah, mudah ergaul dengan orang lain sehingga pergaulannya luas.
b.
Reaxtive vs aplacidity
Anak yang reactive pada
umumnya memiliki kepekaan sosial yang tinggi sehingg mereka banyak kegiatan,
sedangkan anak yang aplacidity mempunyai sifat acuh tak acuh
bahkan tak peduli terhadap kegiatan sosial. Akibatnya mereka terisolir dalam
pergaulan sosial.
c.
Passivity vs Dominant
Anak yang berorientasi passivity sebenarnya
banyak mengikuti kegiatan sosial namun mereka cukup puas sebagai anggota
kelompok saja, sebaliknya anak yang dominant mempunyai
kecenderungan menguasai dan mempengaruhi teman-temannya sehingga memiliki
motivasi yang tinggi untuk menjadi pemimpin (http://www.psychologymania.com)
Selain
orientasi perkembangan sosial remaja, perkembangan sosial remaja juga
mencepunyai ciri-ciri yang melekat pada diri remaja. Meneurut Ali dan Asrodi (2004:91) ciri-ciri
perkembangan sosial remaja.
a.
Berkembanganya kesadaran dan kesunyian
dan dorongan akan pergaulan
Masa remaja bisa disebut sebagai masa
sosial karena sepanjang masa remaja, hubungan sosial remaja semakin tampak
jelas dan sangat dominan. Kesadaran akan kesunyian menyebabkan remaja berusaha
mencari kompensasi dengan mencari hubungan dengan orang lain atau berusaha
mencarai pergaulan. Penghayatan kesadaran akan kesunyian yang mendalamdari
remaja merupakan dorongan pergaulan untuk menemukan pernyataan diri akan
kemampuan kemandiriannya.
b.
Adanya upaya memilih nilai-nilai sosial
Adanya dua kemungkinan yang ditempuh
oleh remaja ketika berhadapan dengan nialai-nilai sosial tertentu, yaitu
menyesuiakan diri dengan nilai-nilai tersebut atau tetap pada pendirian dengan
segala akibatnya.
c.
Meningkatnaya ketertarikan pada lawan
jenis
Remaja sangat sadar akan dirinya tentang
bagaiman padangan lawan jenis mengenai dirinya. Meskipun kesadaran akan lawan
jenis ini berhubungan dengan perkembangan jasmani, tetapi sesunguhnya yang
berkembang secara dominan bukanlah kesadaran jasmani yang berlainan, melainkan
tumbuhnya akan ketertarikan terhdap jenis kelamin yang lain.
d.
Mulai cenderung memilih karir tertentu
Karakteristik berikutnya sebagaimana
dikatakan oleh Kuhlen bahwa ketika sudah memasuki masa remaja akhir, mulai
tampak kecenderungan mereka untuk memilih karir tertentu meskipun dalam
pemilihan karir tersebut masih mengalami kesulitan.
Remaja,
terutama yang telah berada pada masa bagian akhir masa remaja (Late Adolescence) yaitu umur (17-21)
tahun. Perhatiannya terhadap kedudukannya dalam masyrakat dan lingkungan
terutama di lingkukngan remaja sangat besar. Ia ingin diterima oleh
kawan-kawannya dan merasa sedih bila dikucilkan dari kelompok temennya. Karena
itu ia meniru tingkah laku, pakaian, sikap dan tindakan tememnya dalam satu
kelompok. Kadang-kadang remaja dihadapkan pada pilihan yang sangat berat,
apakah ia mematuhi orang tuanya dan meninggalkan pergaulannya dengan
teman-teman eratnya, ataukah hanyut dalam pergaulan yang menyenangkan dan meninggalkan
orang tuanya. Tidak jarang pilihannya jatuh pada teman pergaulannya jika
hubungan dengan orang tua kurang serasi Panuju dan Umami (1999:152).
Masa remaja adalah sebagai masa yang mempunyai minat
dan keinginan yang sanagt tinggi terhdap sesuatu. Baik minat akan pakain,
kendaraan, akan perhatian, dan lain sebagainya. Apabila minat dan keinginan
tersebut tidak terpenuhi, maka akan terjadi perlawanan dari dirirnya sebagai
bentuk pelampiasan dari tidak terpenuhi minat dan keinginan tersebut. Menurut Hurlock
( 1980:219) Minat-minat sosial yang umum
pada remaja
a.
Pesta
Minat terhadap pesata dengan teman-teman
lawan jenis pertama kali tampak sekitar usia tiga belas sampai empat belas.
Sepanjang masa remaja anak perempuan lebih menyukai pesta daripada anak
laki-laki.
b.
Minum-minuman keras
Minuman keras pada saat pesta atau
kencan semakin bertambah populer selama masa remaja. Remaja perempuan bersama
temen-temen sejenis jarang minum minuman keras dibandingkan dengan remaja
laki-laki.
c.
Obat-obatan terlarang
Meskipun tidak bersifat universal,
penggunaan obat-obatan terlarang merupakan kegiatan klik dan kegiatan pesta
yang populer, yang dimulai pada awal masa remaja.
d.
Percakapan
Setiap remaja memperoleh rasa aman bila
berada di antara temen-temen dan membica-rakan hal-hal menarik atau yang
mengganggunya.
e.
Menolong orang lain
Banyak kaula muda sangat berminat untuk
menolong mereka yang merasa dirinya tidak mengerti, diperlakukan kurang baik atau
merasa tertekan.
f.
Peristiwa dunia
Melalui pelajran-pelajaran di sekolah
dan media masa, remaja seringkali mengem-bangkan minat terhadap pemerintahan,
politik, dan peristiwa-peristiwa dunia. Minat ini diungkpakan melalui
percakapan-percakapan dan bacaan dengan temen-temen, guru-guru dan orang tua.
g.
Kritik dan pembaharuan
Hampir semua kaula muda, terutam remaja perempuan,
menjadi kritis dan berusaha memperbaiki orang tua, temen-temen, sekolah, dan
masyarakat. Kritik-kritik mereka biasanya besifat merusak, dan bukan kritik
membangun, dan usul-usul untuk memperbaiki biasanya tidak peraktis.
B.
Analisis Tawuran Antar Pelajar Ditinjau dari
Teori Albert Bandura dan Erik H. Erikson
Teori belajar
sosial bandura menunjukkan pentingnya proses mengamati dan meniru perilaku,
sikap, dan reaksi orang lain. Kebanyakan dari pembelajaran yang dilakukan
manusia, menurut bandura diperoleh melalui mengobservasi perilaku orang lain
dalam konteks sosial dibandingkan dengan malalui prosedur-prosedur standar
pengkondisian.
Menyikapai tawuran
yang terjadi antar pelajar akhir-akhir ini, teori belajar sosial bandura bisa
menjelaskan kenapa hal tersebut bisa terjadi pada remaja? Pada usia remaja pergaulan
dan interaksi sosial dengan teman sebaya bertambah luas dan kompleks
dibandingkan denga masa-masa sebelumnya termasuk pergaulan dengan lawan jenis. Remaja
tidak lagi memilih teman-teman berdasarkan kemudahanya, apakah disekolah atau
dilingkungan tetangga. Remaja mulai menginginkan teman yang memiliki
nilai-nilai yang sama, yang dapat memahami, membuat rasa aman, mereka dapat
mempercayakan masalah-masalah dan membahas hal-hal yang tidak dapat dibicarakan
dengan orang tua.
Untuk memahami akar masalah dari tawuran pelajar, kita bisa meminjam
beberapa perspektif teori sosiologi dalam menilik terjadinya krisis sosial
serta solusi penyelesaiannya.
Menurut teori “patologi sosial”, sebab pokok masalah sosial adalah
kegagalan sosialisasi norma-norma moralitas yang membuat warga masyarakat
melakukan pelanggaran terhadap ekspektasi kepatutan moral. Kisah tawuran
pelajar bukanlah suatu kasus yang berdiri sendiri, melainkan ada kesejajarannya
dengan kisah penegak hukum yang menjadi pelindung penjahat, “bonek”
menghancurkan sarana publik, wakil rakyat lebih memperjuangkan aspirasi yang
bayar. Erosi moralitas ini disebabkan oleh kegagalan
proses belajar sosial akibat kerapuhan sistem pendidikan dan pranata sosial.
Pendidikan terlalu menekankan aspek kognitif dalam kerangka “belajar untuk
tahu” (learning to know), kurang
memperhatikan arti penting “belajar untuk mengerjakan kecakapan hidup” (learn ing to do), “belajar
mengembangkan jatidiri” (learning to be),
serta “belajar mengembangkan keharmonisan hidup bersama” (learning to live together) (Yudi Latif,
REPUBLIKA.CO.ID; Edisi
Kamis, 04 Oktober 2012).
Meneurut Sander Diki Zulkarnaen
(2011) dalam pandangan psikologi, setiap perilaku
merupakan interaksi antara kecenderungan di dalam diri individu (sering disebut
kepribadian, walau tidak selalu tepat) dan kondisi eksternal. Begitu pula dalam
hal perkelahian pelajar. Bila dijabarkan, terdapat sedikitnya 4 faktor
psikologis mengapa seorang remaja terlibat perkelahian pelajar.
1.
Faktor
internal
Remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu
melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini
berarti adanya keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua
rangsang dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Situasi ini
biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi pada remaja yang terlibat
perkelahian, mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi
itu untuk pengembangan dirinya. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat
melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang / pihak lain pada setiap
masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah.
Pada remaja yang sering berkelahi, ditemukan bahwa mereka mengalami konflik
batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan
orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat
membutuhkan pengakuan.
2.
Faktor
keluarga
Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar orang tua
atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja,
belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal yang
wajar kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu
melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak
mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung
dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirnya secara total terhadap
kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.
3.
Faktor
sekolah
Sekolah pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang
harus mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus
dinilai dari kualitas pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak
merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton,
peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas
praktikum, dsb.) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar
sekolah bersama teman-temannya. Baru setelah itu masalah pendidikan, di mana
guru jelas memainkan peranan paling penting. Sayangnya guru lebih berperan
sebagai penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh otoriter yang
sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam
“mendidik” siswanya.
4.
Faktor
lingkungan
Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari
remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan
rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk
(misalnya narkoba). Begitu pula sarana transportasi umum yang sering
menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh
kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari
lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk
munculnya perilaku berkelahi. (http://www.kpai.go.id).
Dari segi teori belajar sosial
bandura yang menjelaskan bahwa sesorang akan meniru apa yang telah dia lihat
melalui observasi. Tayangan televisi atau game
yang berbentuk kekerasan akan menigkatkan agresivitas remaja. Maka tidak
dipungkiri lagi tawuran anatar remaja salah satunya disebabkan dari peniruan
remaja dari tingkah laku yang dipertontonkan melalui televisi atau game yang diamainkan.
Sebuah penelitian yang
dalakukan oleh Albert Bandura dan para koleganya menunjukkan bahwa pentingnya
observasional, terutama pada anak-anak dan remaja yang sedang belajar mengenai
aturan dari perilaku sosial. Para peneliti ini maminta anak-anak dari kelompok
bermain untuk menonton film dari dua orang, Rocky dan Johnny, yang sedang bermain
dengan mainan. Dalam film tersebut, Johnny menolak untuk berbagi mainannya, dan
Rocky merespon dengan memukulnya. Perilaku agresip Rocky ini kemudaian
mendapatkan reinforcement karena
berakhir dengan ia menguasai semua mainan. Johnny yang malang akhirnya hanya
duduk disudut ruangan, sementara Rocky berjalan dan bergerak dengan sekarung
penuh mainan dan sebuah mainan kuda ditangannya. Setelah melihat film tersebut,
setiap anak dibiarkan sendiri selama 20 menit dalam sebuah ruangan bermain yang
penuh mainan, termsuk juga mainan-mainan yang ditunjukkan dalam film tersebut.
Dengan menyaksikan dibalik kaca dengan satu arah, para peneliti penemukan bahwa
anak-anak menjadi lebih agresif dalam permainannya dibanding dengankan dengan
kelompok kontrol yang tidak melihat film sama sekali. Beberapa anak mengikuti
perilaku Rocky dengan hampir sama persis. Di akhir sesi tersebut, bahkan
seorang anak perempuan bertanya pada
peneliti apakah ia boleh meminta sebuah karung (Wade dan Tavris, 2007:274)
Semenjak penelitian
yang dilakukan bandura, ratusan penelitian eksperimental lainnya mengenai anak,
remaja,, dan orang deawasa, telah menunjukkan hasil serupa, sehingga meyakinkan
banyak psikolog bahwa mengobservasi agresi itu sendiri dapat meningkatakn
agresifitas (Komisi kekerasan anak dan remaja APA, 1993; Bushman & Aderson,
2001; Eron, 1995; dalam Wade dan Tavris, 2007:275).
Sebuah meta
analisis menunjukkan bahwa semakin tinggi frekuensi kontak terhadap kekerasan
dalam film maupun televisi, semakin kuat pula kemungkinan seseorang untuk
berperilaku secara agresif, bahkan setelah para peneliti mengontrol kelas
sosial, kecerdasan dan faktor-faktor lainnya (Aderson & Bushman, 2001; Eron,
1995; dalam Wade dan Tavris, 2007:275). Lebih jauh lagi, ketika siswa-siswi
sekolah mengurangi waktu yang biasa digunakannya untuk menyaksikan televisi,
serta film, atau bermain perminan video, yang seringkali mengandung kekerasan,
tingkat agreasifitasnya akan menurun
(Aderson dkk, 2001; dalam Wade dan Tavris, 2007:275).
Sebuah telaah yang
dibuat oleh sekelompok ilmuan ternama menyimpulkan bahwa “penelitian mengenai
kekerasan yang termuat dalam televisi, serta film, permainnan video, dan musik
menunjukkan bukti yang jelas bahwa kekerasan pada media menigkatkan
kecenderungan perilaku agresif dan keras,” baik dalam jangka pendek maupaun
dalam jangka panjang (Aderson dkk, 2001; dalam Wade dan Tavris, 2007:275)
Kekerasan dan tawuran
yang terjadi anatar pelajar sudah begitu membudaya, entah itu waktu efktif
belajar atau puleng sekolah. Hal ini sudah sangat memperihatinkan dikalangan
remaja. Peniruan yang dilakukan oleh pelajar terhadap kaka kelas mereka yang
sering tawuran adalah salah astu penyebabnya. Inilah yang dijelaskan oleh
Albert Bandura, bahwa sesorang akan meniru melaui observasi terhadap perilaku orang. Apalagi bentuk agresifitas berupa tawuran
akan cepat ditiru oleh yang mengamati
dalam hal ini adik kelasnya yang tidak mau ketinggalan dalam maslah tawuran, lebih-lebih
lingkungan yang mendukung untuk
malakukan tawuran sebagai kesetian terhadap kelompoknya. Padahal masa remaja
adalah sebagai masa perkembangan yang sangat penting, sudah semestinya
digunakan dan dirahakan kepada hal yang lebih positif.
Peneiruan terhadap
teman sebayanya seperti meniru tingkah laku, pakaian, sikap dan tindakan teman-temannya
dalam satu kelompok, adalah cara yang dalakukan oleh remaja sebagai tindakan
dari hasil observasi. Ia ingin diterima oleh kawan-kawannya dan merasa sedih
bila dikucilkan dari kelompok temennya. Kadang-kadang remaja dihadapkan pada pilihan
yang sangat berat, apakah ia mematuhi orang tuanya dan meninggalkan
pergaulannya dengan teman-teman eratnya, ataukah hanyut dalam pergaulan yang
menyenangkan dan meninggalkan orang tuanya.
Menurut teori Erik
H. Erikson pada masa remaja disebut dengan tahap identitas versus kebingungan (Identity vs Role Confusion). Pada masa
ini remaja berusaha untuk mencari tahu jati dirinya, apa makna dirinya, dan
kemana mereka akan menuju. Mereka berhadapan dengan banyak peran baru dan
status dewasa (seperti pekerjaan dan pacaran). Remaja perlu perlu diberi
kesmpatan untuk mengeskplorasi berbgai cara untuk memahami identitas dirinya.
Apabila remaja tidak cukup mengeksplorasi peran yang berbeda dan tidak
merancang jalan ke masa depan yang positif, mereka bisa tetap bingung akan
identitas dirinya (Santrock, 2004:87).
Kekacauan identitas
adalah sindrom masalah-masalah yang meliputi; terbaginya gambaran diri,
ketidakmampuan membina persahabatan yang akrab, kurang memahami pentingnya
waktu, tidak bisa konsentrasi pada tugas yang memerlukan hal itu, dan menolak
standar keluarga atau standar masyrakat. Seperti kecenderungan distonik
lainnya, pada tingkat tertentu kekacauan identitas adalah normal dan bahkan
diperlukan. Remaja harus mengalami keraguan dan kekcauan mengenai siapa dirinya
sebelum mereka memperoleh identitas yang stabil. Mereka mungkin meniggalkan
rumah, mengembara sendirian untuk mencari identitas diri, eksperimen dengan
obat psikoterapik dan seks, mengidentifikasi diri kepada kelompok jalanan, atau
memberontak melawan kemampanan masyarakat. Atau remaja itu mungkin sekedar
diam-diam memutusakan di dunia mana mereka cocok, dan nilai-nilai yang mana
yang mereka senangi (Alwisol, 2004:129).
Maslah tawuran
antar pelajar dikalangan remaja adalah sebagai kekacauna identitas dari remaja.
Identitas negatif akan menjadi
pelarian dan pengganti atas kecemasan akan kekacauan identitas yang dialaminya.
Salah satu bentuk identitas negatif adalah tawuran
itu.
Mereka ingin menunjukkan identitas keberadaan
mereka sebagai remaja. Kebingu-gungan akan jati diri merka dilampiaskan dengan
kekeresan berupa tawuran. Lebih-lebih dipengaruhi oleh angkatan kelas terdahulu
mereka, sehingga melakuan tawuran sebagai peniruan dari perilaku terhdap angkatan
kelas terdahulu mereka. Kekacauan identitas inilah remaja mencoba menentang
atiuran-aturan yang ada di masayrakat, bahkan mereka lebih memilih dan mangakui
nilai-nilai kelompok sebaya yang mereka yakini. Remaja tidak menghiraukan
apakah perbuatan tawuran tersebut merugikan atau menguntukan bagi mereka., yang
penting mereka ikut akan kelompok sebagai kesetian mereka terhadap kelompok
tersebut.
C.
Solusi Masalah Tawuran
Antar Pelajar
Penyelesaian
msalah tawuran dikalangan pelajar adalah tanggunag jawab bersama. Keluarga,
sekolah, dan para penegak hukum harus aktif mencegah bahkan mengikis habis
tawuran antar pelajar. Dari hasil analisis tawuran pelajar menurut teori dari Albert
Bandura dan Erik H. Erikson, maka solusi yang dapat digunakan adalah sebagai
berikut:
1.
Lingkungan keluarga
Orang tua harus memperhatikan apa yang di tonton, dan dimainkan
anak lewat game. Perilaku mereka sangat
dipengaruhi oleh model-model yang disajikan lewat media masa berupa televisi,
tindak kekerasan dan perkelahi akan cepet ditiru oleh remja. Dipengaruhi oleh
agresifitas model dalam game yang
mereka mainkan. Model-model yang difilmkan, khusunya, sanggup memberikan
pengaruh yang kuat. Salah satu implikasi utamanya dalah televisi, dimana anak
atau remaja bisa menontonnya berjam-jam sampai selesai, tidak sadar mereka sedang
membnetuk kehidupannya yang masih belia. Oleh karena itu orang tua harus mampu
membatasi remaja dalam menonton TV yang menontonkan kekersan atau memainkan game yang dapat menigkatkan agresifitas
mereka. Orang tua harus menjadai model yang baik bagi anak-anaknya. Perilaku dari orang tua harus bisa ditiru dan
dicontoh oleh anak-anaknya, sehingga dia punya model yang baik dalam hidupnya
berupa ayah dan ibunya.
Dari segi identitas diri, orang tua harus bisa memahami keinginan
remaja. Mereka tidak bisa dikekang sekehendak orang tua, tetapi harus diarahkan
dengan bimbingan dari orang tua agar tidak timbul kekacauan identitas yang
dilmpiaskan dengan kenakalan berupa tawuran. Keinginan dan kemauan yang
menggebu-gebu dari remaja harus dipahami oleh orang tua secara bijak, sehingga
tidak mnimbulkan pembe-rontakan dari anak dengan melampiaskan perlawananya
terhdap orang tua berupa kenalakan yang berbentuk tawuran. Mereka msaih
membutuhkan bimbingan dari orang tua untuk mendapatkan kekacauan identitas yang
stabil. Denagn demikian, tawuran anatar
pelajar dapat diatasi mulai dari lingkungan keluarga yang memper-hatikan akan
perkembangan identitas anaknya.
2.
Linkungan sekolah
Untuk mecegah tawuran anatar pelaja, sekolah harus mampu
megakomodasi bakat-bakat dan keahlian yang dimilki oleh anak didik. Menyediakan
kegiatan ekstra kulikuler yang bermanfaat bagi anak didiknya. Tidak ada waktu
yang terbuang percuma, hanya untuk tawuran. Fasilitas dan sarana yang mendukung
untuk menciptakan dan menyalurkan bakat-bakat anak didik harus disediakan
dengan memadai, sehingga perilaku mereka dapat tersalurkan ke hal-hal yang
positif.
Di sekolah juga, guru harus menjadi model dan contoh yang baik
bagi peserta didiknya. Guru dan dewan sekolah harus menberikan perilaku yang
baik bagi peserta didiknya, sehingga peserta didik tidak mencari model di luar
yang tidak patut ditiru dalam perilakunya.
3.
Memberikan hukuman
Upaya lainnya yang dapat dalkukan untuk mencegah tawuran adalah dengan
memberikan hukuman dan sanksi yang membuat efek jera terhadap perilaku tawuran.
Para penegak hukum harus tegas dalam memberikan hukuman dan sanksi terhdap
perilaku tawuran. Meskipun terkadang upaya ini tidak efektif, buktinya hukuman
dan sanksi ada tetapi tawuran masih terus meralajalela dikalangan pelajar.
Setidaknya penerapan hukuman dan sanksi yang tegas dapat mengurangi perilaku
tawuran dari pelajar.
Sedangkan
menurut Panuju dan Umami (1999:164) tindakan yang dapat dilkukan untuk
mengatasi kenakalan renmaja seperti tawuran adalah:
1.
Tindakan Preventif
a.
Usaha pencegahan timbulnya kenakalan remaja secara umum
1)
Mengenal dan mengetahui ciri umum dan khas remaja;
2)
Mengetahui kesulitan-kesulitan yang secara umum dialami oleh
para remaja. Kesulitan-kesulitan manakah yang biasanya menjadi sebab timbulnya
penyaluran dalam bentuk kenakalan;
3)
Usaha pembinaan remaja:
a)
Menguatkan sikap mental remaja supaya mampu menyelesaikan
persoalan yang dihadapinya.
b)
Memberikan pendidikan bukan hanya dalam penambahan pengetahuan
dan keterampilan melainkan pendidikan mental dan pribadi melalui pengajaran
agama, budi pekerti, dan etiket.
c)
Menyediakan sarana-sarana dan meciptakan suasana yang optimal
demi perkembangan pribadi yang wajar.
d)
Usaha memperbaiki keadaan lingkungan sekitar, keadaan sosial
keluarga maupun masyarakat di mana terjadi banyak kenakalan remaja.
b.
Usaha pencegahan kenakalan remaja secara khusus
Dilakukan oleh para pendidik terhadap kelainan tingkahlaku para
remaja. Pendidikan mental di sekolah dilakukan oleh guru, guru pembimbing, dan
psikolog sekolah bersama dengan para pendidik lainnya. Sarana pendidikan lainya
mengambil peranan penting dalam pembentukan pribadi yang wajar dengan mental yang
sehat dan kuat. Misalnya kepramukaan, dan yang lainnya. Usaha pendidik harus
diarahkan terhadap remaja dengan mengamati, memberikan perhatian khusus dan
mengawasi setiap penyimpangan tingkah laku remaja di rumah dan di sekolah.
Pemberian bimbingan terhadap remaja tersebut bertujuan menambah
pengertian remaja mengenai:
1)
Pengenalan diri sendiri: menilai diri sendiri dan hubungan
dengan orang lain.
2)
Penyesuaian diri: mengenal dan menerima tuntutan dan
menyesuaikan diri dengan tuntutan tersebut.
3)
Orientasi diri: mengarahkan pribadi remaja ke arah pembatasan
antara diri pribadi dan sikap sosial dengan penekanan pada penyadaran
nilai-nilai sosial, moral dan etik.
Bimbingan yang dilakukan dengan dua pendekatan:
1)
Pendekatan langsung, yakni bimbingan yang diberikan secara
pribadi pada remaja itu sendiri. Melalui percakapan mengungkapkan kesulitan
remaja dan membantu mengatasinya.
2)
Pendekatan melalui kelompok di mana ia sudah merupakan anggota
kumpulan atau kelompok kecil tersebut:
a)
Memberikan wejangan secara umum dengan harapan dapat bermanfaat.
b)
Memperkuat motivasi atau dorongan untuk bertingklaku baik dan
merangsang hubungan sosial yang baik.
c)
Mengadakan kelompok diskusi dengan memberikan kesempatan menge-mukaka
pandangan dan pendapat para remaja dan memberikan pengarahan yang positif.
d)
Dengan melakukan permainan bersama dan bekerja dalam kelompok
dipupuk solidaritas dan persekutuan dengan pembimbing.
2.
Tindakan Represif
Usaha
menindak pelanggaran norma-norma sosial dan moral dapat dilakukan dengan
mengadakan hukuman terhadap setiap perbuatan pelanggaran.
a.
Rumah, remaja harus mentaati peraturan dan tata cara yang
berlaku. Disamping itu perlu adanya semacam hukuman yang dibuat oleh orangtua
terhadap pelanggaran tata tertib dan tata cara keluarga. Pelaksanaan tata
tertib harus dilakukan dengan konsisten. Setiap pelanggaran yang sama harus
dikenakan sanksi yang sama. Sedangkan hak dan kewajiban anggota keluarga
mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan dan umur.
b.
Di sekolah, kepala sekolahlah yang berwenang dalam pelaksanaan hukuman
terhadap pelanggaran tata tertib sekolah. Dalam beberapa hal guru juga berhak
bertindak. Akan tetapi hukuman yang berat seperti skorsing maupun pengeluaran
dari sekolah merupakan wewenang kepala sekolah. Guru dan staf pembimbing
bertugas menyam-paikan data mengenai pelanggaran dan kemungkinan-kemungkinan
pelanggaran maupun akibatnya. Pada umumnya tindakan represif diberikan
diberikan dalam bentuk memberikan peringatan secara lisan maupun tertulis
kepada pelajar dan orang tua, melakukan pengawasan khusus oleh kepala sekolah
dan team guru atau pembimbing dan melarang bersekolah untuk sementara atau
seterusnya tergantung dari macam pelanggaran tata tertib sekolah yang
digariskan.
3.
Tindakan Kuratif dan Rehabilitasi
Dilakukan
setelah tindakan pencegahan lainnya dilaksanakan dan dianggap perlu mengubah
tingkahlaku si pelanggar remaja itu dengan memberikan pendidikan lagi.
Pendidikan diulangi melalui pembinaan secara khusus, hal mana sering
ditanggulangi oleh lembaga khusus maupun perorangan yang ahli dalam bidang ini.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
pemaparan hasil analsis di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu:
1.
Istilah remaja dalam bahas latin disebut dengan adolescence yang
memilki arti luas, mencakup kematangan mental, emosioanl, sosial, dan fisik.
Rentang masa usia remaja antara 13-21 tahun, yang juga dibagai dalam masa
remaja awal, anatara uisa 13/14 samapai 17 tahun, dan masa remaja akhir 17
samapi 21 tahun.
2.
Perkembangan sosial pada masa remaja merupakan puncak dari
perkembangan sosial dari fase-fase perkembangan. Suatu
penelitian longitudinal menyimpulkan adanya tiga pola orientasi sosial remaja,
yaitu:
Withdrawal vs. Expansive, Reaxtive vs aplacidity, dan Passivity vs Dominant.
3. Ditinjau dari teori
belajar sosial Albert Bandura, terjadinya tawuran antar pelajar dapat
disebabkan oleh perilaku meniru dari hasil observasi atau pengamatan dikalangan
remaja terhadap kekerasan yang dipertontonkan lewat media masa seperti TV atau
lewat play station yang mereka
mainkan. Mereka juga mengamati dan meniru tingkah laku, pakaian, sikap dan
tindakan temam-temannya dalam satu kelompok dan gangnya sebagai bukti kesetian
dalam kelompok atau gang tersebut. Hal tersebut bisa menjadi penybab terjadinya
tawuran antar pelajar.
4. Ditinjau dari teori Erik
H. Erikson, tawuran antar pelajar dapat disebabkan oleh kekacauan identitas
yang tidak stabil. Identitas
negatif akan menjadi pelarian dan pengganti atas kecemasan akan kekacauan
identitas yang tidak stabil yang dialaminya. Salah satu bentuk identitas
negatif adalah bentuk tawuran.
5. Solusi
untuk mencegah tawuran antar pelajar jika ditinjau dari teori Albert Bandura adalah,
di lingkungan kelurga dalam hal ini
orang tua harus bisa membatasi tontonan dan
mainan game yang berbentuk
kekerasan, sehingga remaja tidak meniru dari model yang dipertontonkan dalam
televisi atau game tersebut. Orang
tua harus menjadai model dan contoh yang baik bagi anak-anaknya. Di sekolah,
guru dan perangkat-perangkat lainnya harus bisa menjadi teladan bagi anak-nak
didiknya, sehingga mereka tidak meniru perilkau yang negatif dari orang lain
ketika selesai belajar di sekolah.
6. Solusi
untuk mencegah tawuran antar pelajar jika ditinjau dari teori Erik H Erikson adalah,
orang tua harus bisa memperhatikan kemauan seorang anak, tidak boleh dikekang
tetapi harus dibimbing dan diarahkan, karena mereka masih mempunya identitas
yang labil. Mereka masih memilki kekacauan identitas yang tidak stabil yang
membutuhkan bimbingan dan arahan baik dari ornag tua di rumah atau guru di
lingkungan sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mighawar, Muhammad. 2006. Psikologi Remaja. Bandung: Pustaka Setia
Ali, Mohammad dan Asrori, Mohammad.
2004. Psikologi Remaja Perkembangan
Peserta Didik. Jakarta: Bumi Aksara
Alwisol. 2004. Psikologi Kepribadain. Edisi Revisi. Malang: UMM Press
Hurlock, Elizabeth B. 1980. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan
Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi
Kelima. Dialihbahsakan Oleh: Istiwidiyati dan Sosdjarwo. Jakarta: Erlangga
Panuju,
Panut Dan Umami, Ida. 1999. Psikologi Remaja. Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya
Santrock,
John. W. 2007. Educational Psychologi, 2nd
Edition. Dialihbahasakan oleh Tri Wibowo B. S. Kencana: Jakarta
Wade, Carole
dan Tavris, Carol. 2008. Psikologi,
Edisi Ke-9 Jilid 1. Jakarta: Erlangga
Aziza, Kurnia Sari. 2012. Tawuran SMA 6 Vs SMA 70 Menahun, Ada Apa?. Kompas. Com. Edisi Rabu, 26 September 2012 | 09:49 WIB
Latif, Yudi. 2012. Kisah Tawuran.
REPUBLIKA.CO.ID. Edisi Kamis, 04 Oktober 2012, 01:00 WIB
Zulkarnaen,
Sander Diki. 2011. Tawuran Pelajar
Memprihatinkan Dunia Pendidikan. http://www.kpai.go.id. Diakses
tanggal 3 Januari pukul 21.15.
http://www.psychologymania.com/2012/06/perkembangan-sosial-remaja.html [online]. Diakses
tanggal 3 Januari 2012 pukul 21.30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar