Manusia diciptakan oleh Allah
SWT ditengah dan diantara ciptaan-Nya yang lain, baik yang bernyawa maupun yang
tidak bernyawa, baik yang nampak oleh mata maupun yang tidak nampak oleh mata.
Untuk mewujudkan hidup dan kehidupannya secara manusiawi, manusia perlu
mengenali dan memahami hakekat dirinya. Pengenalan dan pemahaman itu akan
mengantarkan pada kesediaan mencari makna arti kehidupan, agar tidak sia-sia
dalam menjalani kehidupannya.
1.
Hakekat Manusia Diciptakan
Manusia dipandang sebagai
makhluk yang sempurna. Kesempurnaan itu muncul disebabkan manusia memiliki
kelebihan berupa akal. Dengan akal manusia bisa berpikir, berkembang, memiliki
peradaban, dan jauh lebih baik dari mahkluk yang nampak lainnya.
Dalam pandangan Islam manusia
diciptaan Allah SWT sebagai Khalifah
(wakil) Allah di muka bumi sekaligus menjadi hambanya. Dengan demikian
sewajarnya manusia harus berusaha sebaik mungkin menjadi Khalifah sekaligus hamba Allah. Kenyataan demikian sesuai dengan
firman-Nya pada Surat Fathir ayat 39 sebagai berikut:
هُوَ ٱلَّذِى جَعَلَكُمۡ خَلَـٰٓٮِٕفَ فِى ٱلۡأَرۡضِۚ فَمَن كَفَرَ فَعَلَيۡهِ كُفۡرُهُۖ ۥ وَلَا يَزِيدُ ٱلۡكَـٰفِرِينَ كُفۡرُهُمۡ عِندَ رَبِّہِمۡ إِلَّا مَقۡتً۬اۖ وَلَا يَزِيدُ ٱلۡكَـٰفِرِينَ كُفۡرُهُمۡ إِلَّا خَسَارً۬ا
Artinya: Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barangsiapa yang kafir, maka [akibat] kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka. (39).
Dengan anugerah akal yang
diberikan oleh Tuhan manusia mencapai tingkat perubahan yang begitu cepat.
Mereka memiliki hayalan dan impian. Dorongan mewujudkan hayalan dan impian
manusia yang tidak pernah puas menyebabkan kinerja otak menjadi lebih baik dari
waktu kewaktu. Alasan dasar untuk memenuhi kehidupan dan sebagai hamba berubah total
menjadi sesuatu kemewahan dan pemuasan nafsu manusiawi. Proses berpikir yang
selalu diasah dan dikembangkan menjadikan mereka menguasai ilmu dan teknologi.
Dengan dikuasainya ilmu dan teknologi oleh manusia mereka menjadi menguasai
alam. Ilmu dan teknologi mereka gunakan sampai melampaui batas, terjadilah
ketidak seimbangan alam yang berdampak buruk bagi kehidupannya.[1]
Hakekat manusia menurut
pandangan berbagai macam disiplin ilmu kelihatanya berbeda-beda. Dengan
demikian penelitian ilmiah mengenai gejala sosial sulit dilakukan. Manusia
merupakan mahluk sosial, mahluk yang ingin berkuasa, mahluk yang mencari materi
dan kepuasan seoptimal mungkin, mahluk yang mepunyai rasa ketuhanan, mahluk
moralis, mahluk rasional dan sebagainya. Menurut Jujun S. Suriasumantri bahwa
setiap disiplin ilmu disusun berdasarkan pandangan tertentu terhadap manusia.
Ilmu ekonomi disusun berdasarkan pandangan bahwa manusia adalah mahluk yang
mencari keuntungan sebesar-besarnya. Ilmu polotik disusun berdasarkan pandangan
bahwa manusia adalah mahluk yang ingin berkuasa. Ajaran Islam juga mempunyai
pandangan bahwa manusia adalah hamba dan Khalifah
Allah.[2]
Perbedaan pandangan dari
berbagai disiplin ilmu terhadap manusia bisa dikatakan benar. Contoh kongkrit
yang dapat kita lihat bahwa pada era sekarang manusia cenderung berlomba-lomba
dan terlalu berlebihan dalam hal pemenuhan kebutuhan hidupnya. Manusia memiliki
kecenderungan mencari kepuasan maksimum tanpa memikirkan dampak buruk dari
tindakan tersebut. Boros dan bermewah-mewahan adalah suatu budaya dan
kebanggaan, apalagi eksploitasi alam
secara besar-besaran tanpa memikirkan kondisi lingkungan menjadi suatu yang
tidak asing.
Budaya hidup boros, dan bermewah-mewahan yang
nantinya lupa akan akibatnya baik diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan
telah diperingatkan oleh Allah SWT dalam Surat Al-Isro’ Ayat 27
إِنَّ ٱلۡمُبَذِّرِينَ كَانُوٓاْ إِخۡوَٲنَ ٱلشَّيَـٰطِينِۖ وَكَانَ ٱلشَّيۡطَـٰنُ لِرَبِّهِۦ كَفُورً۬ا
Artinya:
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. (27)
Keadaan seperti ini mebawa
manusia lepas dari hakekat penciptaannya. Ketika manusia lupa terhadap
hakekatnya sebagai mahluk Tuhan, kekacauan, pengrusakan dan lain sebagainya
kerap kali dilakukan. Tindakan semacam itu ternyata membawa dampak buruk
seperti hal nya global warming. Allah SWT telah mengingatkan dalam Surat Al-
Qashas: ayat 77
وَٱبۡتَغِ فِيمَآ ءَاتَٮٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلۡأَخِرَةَۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنۡيَاۖ وَأَحۡسِن ڪَمَآ أَحۡسَنَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ وَلَا تَبۡغِ ٱلۡفَسَادَ فِى ٱلۡأَرۡضِۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُفۡسِدِينَ
Artinya:
”Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu [kebahagiaan] negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari [keni’matan] duniawi dan berbuat baiklah [kepada orang lain] sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di [muka] bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan" (77).
Manusia kadang melupakan
dampak samping akibat kerusakannya. Hanya sedikit manusia yang menghargai dan
memberi nilai mahluk ciptaan Allah yang lain baik itu manusia maupun mahluk
hidup lainnya. Memaksakan kehendak demi kesejahteraan sendiri. Sesungguhnya
kecenderungan inilah yang selama ini terjadi di masyarakat sehingga kerusakan alam
dan lingkungan terakumulasi dan terimbas kembali kepada masyarakat. Sebagian
besar manusia sulit menyadari realitas kehidupan lingkungan hidup yang ada
disekitarnya. Ini karena penghancuran-penghancuran lingkungan hidup itu terjadi
bersamaan dengan proses-proses yang sedang mereka kerjakan yang sering
”bertujuan” membangun masa depan. Padahal, yang terjadi adalah sebaliknya.
Tragedi masa depan itu justru sedang terjadi pada kita dan kita sendiri yang
menjalankannya.[3]
2.
Tujuan Manusia Diciptakan
Semua yang Allah ciptakan di
jagat raya ini tidak ada yang sia-sia. Bahkan mahluk yang sangat kecilpun yang
mungkin tidak kelihatan oleh mata memiliki manfaat entah itu manfaat yang dapat
dirasakan oleh manusia ataupun mahluk Tuhan yang lain. Penciptaan hewan melata,
tumbuhan, gunung-gunung bahkan batu sekalipun memiliki tujuan. Entah tujuan itu
dapat dinalar ileh manusia maupun yang tak mampu dinalar oleh akal manusia,
tetapi kita yakin bahwa Allah menciptakannya dengan tujuan tertentu.
Sama halnya dengan tujuan penciptaan manusia. Dalam ajaran Islam, manusia diciptakan
dengan tujuan untuk menyembah kepada Tuhannya (Allah). Hal tersebut telah Allah
tegaskan dalam Surat Adz-Zariyat ayat 56:
وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ
Artinya: Dan
aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada –Ku.
Alam semesta sebagai
eksistensi Tuhan hanya bisa dipahami oleh manusia dengan kemampuan
spiritualnya. Kemampuan ini dapat memahami tanda-tanda kekuasaan Tuhan yang
tersembunyi dalam semua wujud keseluruhan, pada langit, bumi, air, dan udara,
sebagai manifestasi ilahi. Pandangan manifestasi ini memiliki dimensi etis.
Pertama, jika alam merupakan cermin dari kebesaran ilahi maka sudah seharusnya
manusia berdamai dengan alam dan memperlakukannya sebaik mungkin. Kedua, dengan
kemampuan intelek dan spiritualnya manusia bisa mengenal Tuhan
melaluitanda-tanda yang ditampakannya sehingga manusia tetap menjadi mahluk
seuai hakekat penciptaannya.
3.
Kembali Pada Allah
ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِى ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِى عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ
”Telah
tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”[4]
Aktivitas manusia yang terlalu
berlebihan dalam hal mengekploitasi alam dan gaya hidup mewah dan boros membawa
dampak yang buruk. Jika tindakan semacam ini masih terus membudaya dan tanpa
ada kesadaran, maka global warming yang akan memusnahkan seisi bumi ini
benar-benar tejadi. Manusia perlu merenungi kembali tindakan-tindakan buruk
yang melampaui batas, demi mendapatkan kepuasan yang optimal, bahkan hal itu
membuat manusia melupakan hakekatnya sebagai manusia ciptaan Tuhan.
Pengrusakan lingkungan seperti
ilegal loging, sikap hidup boros, pencemaran lingkungan oleh limbah pabrik,
industri, memberi peluang besar terhadap terjadinya global warming. Disadari
atau tidak, posisi manusia sedang dalam ancaman global warming. Tak akan ada
yang dapat bertahan jika memang keadaan demikian terjadi, sebab global warming
bukan saja mengganggu sistem perekonomian, lebih jauh lagi akan menghancurkan
sistem ekologi. Padahal Rasulullah bersabda ”barangsiapa
yang menebang pepohonan (tanpa alasan yang benar), maka Allah akan mencelupkan
kepalanya ke dalam Neraka”[5]
Perihal menjaga lingkungan Rasulullah juga
bersabda ”tidaklah seorang muslim menanam
tanaman, kemudian (buah atau biji) tanaman tersebutdimakan oleh burung,
manusia, ataupun binatang ternak, melainkan hal tersebut termasuk sedekah
darinya”[6]
Global warming merupakan
sebuah isu yang berdampak baik jika disikapi dengan sikap yang positif. Sikap
yang positif dapat dicerminkan terhadp kesadaran manusia terutama umat Islam,
bahwasanya mereka sedang ditegur oleh Allah. Kerusakan yang mereka buat telah
melampaui batas, hanya teguran Allah (global warming) yang dapat mengembalikan
mereka ke jalan yang diridhoi Tuhan (hakekat manusia).
[1] Dra.
Siti Zawimah. Masalah Kependudukan dan Lingkungan Hidup. 1990. hal xiv
[2]
Bustanuddin Agus, pengembangan ilmu-ilmu sosial 1999. hal 87
[3] Isac
Asimov dan Frederik Pohl dalam bukunya Our Angry Earth (dikutip dari sinopsis
buku global warming karangan Abu Fatiah Al-Adnani)
[4] QS.
Ar-Ruum (30):41
[5] HR Abu
Daud no 4561
[6] HR. Bukhari no. 2152 dan Muslim no.2904
Tidak ada komentar:
Posting Komentar