Nampaknya Global Warming merupakan momok yang sangat menakutkan bagi setiap
orang. Mendengar kata global warming
saja rasanya kita akan membayangkan sesuatu yang sangat mengerikan yang bakal
menimpa kehidupan ekosistem di bumi. Karena hal demikian, beberapa tahun
terakhir isu global warming telah
menjadi wacana yang cukup luas di masyarakat, khususnya kalangan terpelajar,
akademisi, dan masyarakat perkotaan. Isu global
warming terus mewarnai berita yang tersiar di koran, majalah, tabloid, TV,
bahkan tidak sedikit film-film yang mewacanakan isu pemanasan global yang
menjadi pemicu kehancuran dunia. Diantara film-film itu antara lain seperti
film The Day After Tomorrow dan film
yang fenomenal yaitu HOME. kedua film tersebut sangat jelas menggambarkan
bagaimana kengerian dari suatu kehancuran yang disebabkan oleh pemanasan
global. Dalam film The Day After Tomorrow menggambarkan terendamnya sebuah kota
besar akibat naiknya permukaan laut. Ombak yang begitu besar datang secara
tiba-tiba dan meluluhlantahkan semua yang ada. Film HOME yang durasi nya
sekitar 50 menit, lebih mendetail dalam hal menggambarkan kerusakan lingkungan
akibat manusia. Waktu yang dibutuhkan oleh bumi sehingga terbentuk kehidupan
menury film tersebut sekitar 400 Milyar tahun. Pada kenyataannya, manusia yang
diperkirakan baru ada sekitar 200.000 tahun sudah mengubah segala-galanya,
membuat alam menjadi tidak seimbang. Lebih parah lagi es di Antartika menyusut
40% dalam 40 tahun terakhir. Jika es di antartika mencair, maka kota besar
disekitar pesisir pantai seperti Tokyo terancam hilang. Selain itu, isu
mengenai global warming kerap kali menjadi bahan diskusi kaum akademisi. Mereka
membicaran dan menawarkan solusi dalam hal penanganan pemanasan global.
Perihal solusi dalam
penanggulangan global warming, jauh sebelum itu negara-negara yang ada di dunia
membuat perjanjian atau kesepakatan perihal penurunan kadar emisi gas rumah
kaca. Kesepakatan antara negara-negara tersebut dikenal dengan Protokol kyoto.
Dinamakan Protokol Kyoto karena kesepakatan ini dinegosiasi di Kyoto pada
desember 1997, dibuka untuk penanda tanganan pada 16 maret 1998 dan ditutup
pada 15 maret 1999. persetujuan ini mulai berlaku pada 16 februaru 2005 setelah
rativikasi resmi yang dilakukan oleh Rusia pada 18 November 2004.[1]
Protokol kyoto adalah sebuah
amandemen terhadap konvensi rangka kerja PBB tentang perubahan iklim, pada
februari 2005 telah diratifikasi oleh 141 Negara yang mewakili 61% dari seluruh
emisi. Protokol Kyoto merupakan sebuah persetujuan internasional mengenai
pemanasan global. Negara-negara yang meratifikasi protokol kyoto ini
berkomitmen mengurangi emisi CO2 dan lima gas rumah kaca lain (CH4,
NO, sulfur heksaflorida, HFC, dan PFC).
Protokol
Kyoto merupakan suatu hal yang sangat menentukan keadaan dunia sampai 50 tahun
mendatang. Dengan adanya perjanjian ini tingkat emisi gas rumah kaca akan
berkurang. Namun tidaklah mudah melakukan retifikasi bagi negara-negara maju.
Negara-negara maju sebagian besar sumber mata pencahariannya adalah pelaku
dunia industri. Jika mereka mengurangi tingkat emisi, artinya mereka akan
mengurangi produktivitas mereka sendiri. Keadaan yang demikian dilakukan oleh
negara maju yang tergolong Annex I seperti australia, Monako amerika Serikat,
Kroasia, Kazakastan, dan Zambia.
Ketidak
sepakatan negara maju seperti AS dalam hal meretifikasi kesepakatan Protokol
Kyoto terlihat pada argumen yang dilontarkan oleh Presiden Amerika Serikat pada
masa pemerintahan Bush. Bush mengatakan ”Amerika Serikat melihat hal itu
sebagai tantangan serius dan kami secara efektif menentang perubahan iklim
lewat regulasi, kerjasama publik-swastainsentif dan investasi kuat dalam
teknologi baru”. Lebih jauh lagi Bush mengatakan ”sudah waktunya dunia
memproduksi lebih sedikit emisi gas-gas rumah kaca. Dan hal itu kita lakukan
dengan cara yang tidak mengganggu pertumbuhan ekonomi atau mencegah negara dari
upaya kemakmuran rakyatnya”.[2]
Untuk memperkuat argument tersebut Bush
mengemukakan ide yang dikenal dengan Carbon Sink.[3] Carbon Sink ini merupakan suatu Istilah
dimana adanya suatu proseskredit karbon. Kredit karbon ini merupakan
konsekuensi dari AS yang tak mau meretifikasi Protokol Kyoto. Program Carbon
Sink menyatakan pemerintah AS akan menanam pohon sebanyak-banyaknya yang dapat
menyerap kembali emisi CO2, dengan demikian AS telah bertanggung
jawab atas tindakannya tersebut.
Pertanyaannya adalah apakah
benar pohon akan mampu menyerap semua CO2 yang diemisikan? Pohon
memiliki kejenuhan dalam hal mengubah CO2 menjadi O2 dan
energi, kenyataan demikian dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Peter
Cox dari penelitian cuaca Inggris yang disajikan IPCC. ”hutan proyek Carbon
Sink dalam waktu dekat akan mengalami kejenuhan, akibatnya hampir semua CO2
dikembalikan pada alam”[4].
Menanggapi
sikap arogan AS yang tidak mau menandatangani Protokol Kyoto menuai berbagai
kecaman dan reaksi keras. Salah satunya adalah reaksi yang diberikan oleh LSM
Indonesia pada tanggal 11 April 2001. mereka mengatakan kecewa terhadap sikap
AS yang menentang Protokol Kyoto. Sikap tersebut menurut penilaian mereka akan
melawan standar perilaku diplomasi internasional yang dapat diterima.[5]Bahkan yang lebih menyakitkan bagaimana
AS dalam KTT PBB untuk Perubahan Iklim
di Kopenhagen,Denmark hanya bersedia
mengurangi 3% emisinya[6]
Upaya
penanggulangan terhadap dampak global warming tidak terbatas pada Protokol
Kyoto. Berbagai himbaun yang beredar lewat media koran, tabloid, majalah,
maupun TV mengalir tak terbendung. Himbauan dan ajakan tersebut berkutat
seputar ajakan menghemat pemakaian listrik, pengunaan AC, daur ulang sampah anorganik,
mengubur sampah organik, tidak menggunakan bahan parfum yang mengandung arosol,
hemat BBM, dan lain-lain. Ajakan untuk menghemat listrik dan mendaur ulang
sampah merupakan upaya seseorang atau sekelompok orang dalam hal berpartisipasi
dalam mengurangi emisi karbon. Keadaan tersebut ditunjukan pada koran kompas, 7
desember 2009 pada halaman pertama.
CO2
merupakan gas rumah kaca yang memiliki konsentrasi yang tinggi dan waktu
tinggal yang relatif lama dibanding gas rumah kaca lainya. Akan tetapi effek
yang ditimbulkan oleh gas rumah kaca lain jau lebih besar dari pada effec yang ditimbulkan oleh CO2.
salah satu gas yang memiliki effec
yang lebih besar dari CO2 adalah CH4 (metana). Kita tahu
bahwa metana mempunyai potensi terbesar kedua penyebab effec rumah kaca
dibanding CO2 karena peternakan sapi di dunia jumlahnya cukup
banyak. Peternakan sapi akan mengemisikan metana baik dari pernapasan, maupun
kotoranya. oleh sebab itu, banyak juga yang menyarankan agar beralih dan
mencari alternatif lain dalam hal konsumsi.
Pengarang dari Lembaga World Watch yang melaporkan
bahwa sedikitnya 51% dari emisi seluruh dunia berasal dari industri ternak ini
diundang untuk berbicara pada pengarahan kebijakan tentang perubahan iklim
untuk Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO). Organisasi itu bekerja untuk
mendapatkan dukungan bagi solusi gabungan atas pemanasan global dan keamanan
pangan yang meminta perhatian terhadap peternakan untuk mengurangi dampak
perubahan iklim.Dalam pidatonya, Dr. Goodland membuat beberapa rekomendasi
termasuk promosi atas pola makan nabati dan agar emisi dari hewan ternak harus
dipertimbangkan dalam kebijakan apapun dalam menguragi pemanasan global. Dr.
Goodland, terima kasih tulus kami yang telah membagikan keahlian Anda. Semoga
Perserikatan Bangsa Bangsa, pemerintah, dan organisasi di seluruh dunia segera
menjalankan praktik yang sangat bijaksana dan efektif seperti gaya hidup vegan
organik untuk hentikan perubahan iklim. Solusi terhadap krisis global kita ini
telah digaungkan berulang kali oleh Maha Guru Ching Hai, yang sekali lagi
berseru kepada semua pemimpin untuk memprakarsai tindakan menuju dunia nabati
dalam konferensi video bulan September 2009 di Pulau Jeju, Korea Selatan.[7]
Produksi daging menghabiskan
lebih dari 74% dari seluruh kedelai dan 36% dari semua biji-bijian. 1,02 miliar
orang menderita kelaparan yang berkepanjangan di tahun 2009, namun kita mampu
memberi makan 2 miliar orang dengan kedelai dan biji-bijian yang dijadikan
pakan ternak. Produksi daging juga banyak berperan terhadap kekurangan air.
Kita menghabiskan 1.200 galon air untuk menghasilkan satu porsi daging
panggang, 330 galon untuk menghasilkan satu porsi ayam; tapi hanya memerlukan 98
galon untuk menghasilkan satu porsi makanan vegan yang berisi tahu, nasi, dan
sayuran. Diperkirakan bahwa produksi daging memerlukan 70% dari penggunaan air.[8]
Untuk memproduksi 1 kilogram
daging sapi kita telah menghasilkan emisi gas rumah kaca dengan potensi
pemanasan yang setara dengan 36,4 kilogram karbon dioksida.
1.
Untuk
menghasilkan 1 kilogram daging sapi juga memerlukan pupuk buat tanaman sebagai
makanan sapi itu yang jumlahnya setara dengan 340 gram sulfur dioksida dan 59
gram fosfat, serta menghabiskan 169 megajoule energi.
2.
Satu
kilogram daging sapi bertanggung jawab terhadap emisi CO2 yang
jumlahnya setara dengan rata-rata mobil orang Eropa yang menempuh jarak sekitar
250 kilometer, dan membakar cukup energi untuk menyalakan lampu 100 watt selama
hampir 20 hari.[9]
[1] Abu
fatiah Al-Adnani, Global Warming, 2008 hal 65
[2] Abu
fatiah Al-Adnani, Global Warming, 2008 hal 79
[3] Ibid,
hal 93
[4] Ibid,
hal 95
[5] Ibid.
hal 107
[6] Harian
Kompas Edisi Senin 21 Desember 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar